Minggu, 20 Oktober 2019

KORUPSI DINI

Apa yang terlintas dibenak pembaca ketika mendengar kata ‘korupsi’? Saya tanya kepada 10 orang yang saya temui, diantaranya menjawab spontanitas ‘uang’, ‘pemerintahan’, ‘curang’, ‘kerah putih’, ‘pencuri’, ‘hukuman mati’, ‘kejahatan luar biasa’, ‘KKN’, ‘lembaga KPK’ hingga satu jawaban yang menarik perhatian saya, yaitu ‘budaya’. 

Bagaimana kata ‘budaya’ tersebut dikaitkan dengan kata ‘korupsi’? Siapakah yang harus disalahkan jika korupsi merupakan suatu budaya? Mari kita intropeksi pada diri sendiri, apakah kita bisa menjawabnya?

Korupsi yang kita ketahui bukan saja masalah Negara melainkan masalah di seluruh dunia. Sejarah mencatat korupsi telah menghancurkan banyak hal, dari mulai suatu Negara, perserikatan, hingga kehidupan seseorang. Korupsi merupakan suatu bentuk penyelewengan atau penyalahgunaan. Apakah identik dengan uang? Sebagian berpendapat korupsi tidak hanya penyelewengan uang melainkan penyalahgunaan kekuasaan, memanipulasi data atau bahkan mencuri waktu, atau segala hal dalam bentuk kecurangan yang sifatnya mengambil atau menyalahgunakan yang bukan menjadi haknya sebenarnya dapat diindikasikan sebagai korupsi dini.

Beberapa kasus yang dapat dijadikan intropeksi, ketika seorang pekerja yang seharusnya memiliki 8 jam waktu kerja dari pukul 08:00 – 16:00 sore, terkadang secara tidak sadar kita melakukan korupsi waktu dengan datang terlambat atau pulang lebih awal dengan alasan yang tidak jelas atau melakukan hal-hal yang tidak laik pada jam kantor, seperti bergosip, berbelanja, dan hal lainnya yang tidak sewajarnya. Mengapa dikatakan korupsi? Karena, seyogyanya kita sebagai pekerja diberikan kompensasi melalui gaji untuk melakukan pekerjaan kita. Jika kita tidak melakukan pekerjaan kita tersebut, namun kita tetap mendapatkan kompensasi yang utuh, sudah sewajarnya yang kita lakukan merupakan korupsi waktu.


Kasus lainnya, pelajar yang mencontek. Apakah dapat dikategorikan korupsi? Ya. Mengapa demikian? Ujian adalah suatu bentuk test yang dilakukan ketika kita telah mendapatkan materi dari apa yang telah kita pelajari. Saat ujian tidak jarang tenaga pendidik mengingatkan kita untuk mematikan handphone, menutup buku, atau dilarang berdiskusi dengan pelajar lainnya. Jika sudah jelas peraturannya, mengapa pelajar tetap ingin mencontek? Karena ia ingin mendapatkan nilai yang baik padahal bukan hasil dari jerih payahnya. Inilah yang namanya mengambil hak pelajar lainnya yang sungguh-sungguh belajar dalam menghadapi ujian tersebut. Tidak salah bukan jika mencontek salah satu indikasi korupsi dini?



Dan tentu banyak hal lainnya yang kerap terjadi di sekitar lingkungan kita, misalnya mengupgrade biaya keperluan sekolah kepada orang tua yang bahkan mungkin pernah kita alami sewaktu usia muda, melakukan titip absen ketika kita jadi mahasiswa, mengaku pekerjaan yang dikerjakan oleh orang lain agar menerima kita menerima pujian, atau menyalahgunakan wewenang sehingga praktik KKN merajalela, atau bahkan kasus yang lebih serius lagi, yaitu menyelewangkan uang Negara yang selama ini kita kenal dengan korupsi. Tidak salah bukan jika ini yang dinamakan ‘budaya’? Karena selama ini kesempatan itu selalu ada bahkan sejak kita usia muda.

Lantas apa yang harus kita cegah dan lakukan? Kita sebagai anak, remaja, atau bahkan orang tua mari saling mengingatkan untuk tidak melakukan segala bentuk kecurangan dalam hal apapun. Nasihat lama mengatakan ‘kurangi lah hal yang tidak perlu’ dan terus mengasah kemampuan cara berpikir agar selalu rasional, selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta agar memiliki ketenangan batin agar dihindari dari niatan-niatan buruk, seperti yang diutarakan Wapres Jusuf Kalla (JK) bahwa korupsi disebabkan karena adanya kemauan (niat) dan kesempatan. Kesempatan itu selalu ada, namun kemauan (niat) itu dari diri sendiri. Mari kita intropeksi dan self control untuk kedepannya serta saling mengingatkan kepada sesama jika ada yang melakukan tindak kecurangan, walaupun itu indikasi korupsi dini. Hal curang yang dilakukan terus-menerus tentu akan menimbulkan kebiasaan yang berujung ‘budaya’.

Menghindari Stress: INHALE & EXHALE


Pernahkah kamu mendengar ritme ombak di pantai? Do you enjoy it? Yup! Alunan deburan ombak tersebut dapat menenangkan hati dan pikiran kita. Sebelum jauh merencanakan liburan ke pantai, cara kita bernafas dapat membuat kita santai. Lho kok bisa?
Para peneliti dari Katholieke Universiteit Leuven (K.U. Leuven) di kota Leuven, Belgia melakukan penelitian dan menemukan hasil bahwa menarik nafas yang dalam dapat diibaratkan sebagai “tombol reset” dimana cara kita bernafas bergantung dari kondisi fisik dan psikis orang tersebut.


Menarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan, nikmati dan ulangi. Percayakah kamu bahwa Inhale – Exhale ini sangat baik untuk relaksasi diri? Yuk, kita buktikan!
Deep inhale, long exhale dapat memberikan manfaat seperti:
1.     Mengurangi stress
Ini dianalogikan seseorang yang sedang berada dalam suasana tegang, tertekan, atau stress membutuhkan oksigen yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang sedang menonton TV atau mendengarkan musik.
2.     Meningkatkan Energi
Jika kamu dalam situasi akan berbicara di depan publik atau siap-siap ketika lomba lari, apa yang biasa kita lakukan? Yup! Take a deep breath will increase your energy.
3.     Membantu pencernaan
Menarik nafas setelah makan akan membantu kita mencerna makanan. Your stomach will thank you.
4.     Membuat kebahagiaan
Ketika kita dalam keadaan damai, lakukan deep inhale dan long exhale, pikiran kita akan relax dan membuat kita happy! Do it again, again, and again!
5.     Menstimuls kreativitas
Selain menjernihkan pikiran kita, oxygen dapat menstimulus sel otak kita untuk berkreativitas.

So, what are you waiting for? Take a deep inhale and do a long exhale, goodluck!